Sabtu, 28 Juli 2012


TUGAS MAKALAH
ISLAM DAN PERSOALAN KONTEMPORER
ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
Dosen Pembimbing : Drs. Ahmad Thib Raya, M.A.




Disusun Oleh :
Fahmi Yazid
Khairina Umami
Siti Laila Khairani


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011
I. PENDAHULUAN
Diantara 114 surat yang terkandung di dalam Al-Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus. Memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Al-Qur’an secara umum dan dalam banyak  ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki-laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. An-Nisa’, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus dihormati. Maka pada ayat pertama surat An-Nisa’ kita dapatkan bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing-masing jika beramal sholeh pasti akan diberi pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari  jiwa yang satu  ( nafsun wahidah ), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya ( ittaqu robbakum ). Kesetaraan yang telah diakui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu tadafu’ ), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri.
  
KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM
Islam hadir di dunia tidak lain kecuali untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Bila ditelaah lebih dalam sebenarnya tidak ada satu pun teks baik al-qur’an maupun hadis yang memberi peluang untuk memperlakukan perempuan secara semena-mena.
Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan yang menguntungkan satu pihak lainnya. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari tiga hal :
1.      Hakikat kemanusiaannya.
2.      Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat pahala yang sama atas amal yang dibuatnya atau pun sebaliknya.
3.      Islam tidak mentolelir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Ternyata pada masa Rasul sudah ada praktek kesetaraan gender itu sendiri. Rasullah adalah suri tauladan yang tiada bandingan nya, pribadi yang sangat agung, kasihnya dapat memberi kedamaian dan ketentraman di antara umat manusia. Betapa kita sangat mengenal Khadijah sebagai seorang saudagar perempuan yang sumbangan finansialnya sangat penting bagi tegaknya dakwah islam. Bisa dikatakan bahwa kala itu Khadijah berperan sebagai pencari nafkah utama, karena berbagai kesibukan dakwah Nabi.
Kisah ini sekaligus menandakan bahwa pada masa Nabi perempuan dapat bekerja dan mengembangkan inisiatifnya. Menjadi tidak dapat dipahami bila sekarang muncul suatu pandangan dari sebagian kalangan, bahwa islam tidak memberikan tempat bagi perempuan bekerja, hanya karena keterkaitan dengan suami. Dalam kehidupan perkawinan Rasul dengan Khadijah, Khadijah yang berperan besar dalam masalah ekonomi keluarga. Hal tersebut dibenarkan oleh islam, karena alasan kerja sama dan sikap saling berbagi tanggung jawab. Sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur’an :
انَى لا اضيع عمل عمل منكم من ذكر او انثى بعضكم من بعض
"... sesungguhnya aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal di antara kamu, laki-laki dan perempuan. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain ...” (Al-Qur’an Ali Imran /3 : 195)

II. PEMBAHASAN
·         Kesetaraan Gender

Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah), antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan.

·         Perbedaan antara Gender dan Jenis Kelamin

Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak  berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya, ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu, gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah.

Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu, gender dapat berubah. Islam adalah agama keTuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S. al-imran: [3] 112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13, Yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

·         Konsep Kesetaraan Gender dalam Kehidupan

a.       Lingkungan Keluarga  
Menurut ideologi ini, kedudukan laki-laki yang penterpenting dalam suatu keluarga adalah sebagai seorang suami yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Namun, sebagai pencari nafkah utama. Karena tugasnya sebagai pencari nafkah sering seorangsuami tidak peduli dan tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga, sebab dia merasasudah memberi uang untuk jalannya roda rumah tangga (Smith 1988:154).banyak istri yang bekerja mencari nafkah di luar rumah. Penghasilan istri juga berfungsi menambah penghasilan. Istri yang bekerja mencari nafkah di luar rumah biasanya harus mendapat persetujuan terlebih dulu dari suami. Pada umumnya hingga saat ini meskipun istri bekerja, sang suami tetap tidak ingin bila posisi dan penghasilan yang diperoleh istri melebihi sang suami dan penghasilan suami tetap merupakan penghasilan pokok bagi keluarga.

Di samping istri bekerja mencari nafkah di luar rumah, tanggung jawab urusan rumah tangga tetap ada di pihak istri sehingga dapat dibayangkan beratnya beban yang ditanggung oleh seorang istri bila ia bekerja di luar rumah. Meskipun perempuan sudah dapat bekerja di luar rumah, pada saat ini masih tetap tampak berlakunya konsep gender, sebagai contoh istri yang bekerja masih harus memperhitungkan perasaan suami dengan tidak mau meraih posisi yang lebih tinggi dari suami, sehingga sering mereka bekerja tanpa ambisi. Sering timbul dilema bagi dirinya untuk memilih antara karier dan keluarga.

b.   Lingkungan Pendidikan
Di bidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga dominan. Sejak masa kanak-kanak ada orangtua yang memberlakukan pendidikan yang berbeda berdasarkan konsep gender. Sebagai contoh kepada anak perempuan diberi permainan boneka sedangkan laki-laki memperoleh mobil-mobilan dan senjata sebagai permainannya. Bila diingat bahwa pada Zaman Kartini berlaku perbedaan pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki, tampaknya saat ini juga masih demikian. Sebagai contoh, masyarakat kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan atau pendidikan rumah tangga, sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan dianggap lemah di bidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah di bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang berpendidikan. (Millar 1992)

c.   Lingkungan Pekerjaan
Sejak kaum perempuan dapat memperoleh pendidikan dengan baik,  jumlah perempuan yang mempunyai karier atau bekerja di luar rumah menjadi lebih banyak. Mednick (1979) berpendapat meskipun jumlah kaum perempuan yang bekerja meningkat, tetapi jenis pekerjaan yang diperoleh masih tetap berdasar konsep gender. Kaum perempuan lebih banyak bekerja di bidang pelayanan jasa atau pekerjaan yang membutuhkan sedikit keterampilan seperti di bidang administrasi, perawat atau pelayan toko dan hanya sedikit yang menduduki jabatan manager atau pengambil keputusan (Abbott dan Sapsford 1987). Dari segi upah, masih banyak dijumpai bahwa kaum perempuan menerima upah lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama, juga perbedaan kesempatan yang diberikan antara karyawan perempuan dan laki-laki di mana laki-laki lebih diprioritaskan. Dari perbedaan perlakuan tersebut banyak yang kemudian menyimpulkan, menggolongkan dan kemudian menganggap perempuan sebagai orang yang lemah, pasif serta dependen dan menganggap laki-laki lebih berharga. Akibatnya banyak orang lebih menghargai dan memilih mempunyai anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan (Mednick, 1979).

Hakekat Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam

Hakekat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan lakilaki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi/bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Faktor utama penyebab kesenjangan gender adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu, penafsiran ajaran agama yang kurang menyeluruh atau cenderung dipahami menurut teks/tulisan kurang memahami realitas/kenyataan, cenderung dipahami secara sepotong-sepotong kurang menyeluruh. Sementara itu, kemampuan, kemauan dan kesiapan kaum perempuan sendiri untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti : politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya.. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
 KESIMPULAN
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak  ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Pengertian gender tidak sekedar merujuk pada perbedaan biologis semata, tetapi juga perbedaan perilaku, sifat, dan ciri-ciri khas yang dimiliki laki-laki ataupun perempuan. Lebih jauh lagi, istilah gender menunjuk pada peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Jika perbedaan jenis kelamin merupakan bawaan sejak lahir dan sepenuhnya kehendak Tuhan, perbedaan gender sepenuhnya didasarkan atas kreasi atau ciptaan masyarakat. Oleh karena itu, jenis kelamin tidak akan pernah berubah dari waktu ke waktu. Sementara gender selalu berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.



DAFTAR PUSTAKA
Dr. Nasaruddin Umar, MA ,  Argumen Kesetaraan Jender, Pespektif Al Qur’an , Jakarta : Paramidana, 1999, Cet. I  hlm 35.
Ahmed, Leila. 2000. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta : Lentera Basristama.
Fayumi, Badriyah. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender. Jakarta : Departemen Agama RI.
....................... 1994. Wanita dalam Islam. Bandung : Pustaka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar